Sunday 7 February 2010

OPERASI PENYAKIT KARAKTER

REFLEKSI SENIN KE-6
08 Pebruari 2010
Jika kita dekat dengan Tuhan, tidak akan ada orang yang mampu menyakiti hati kita; dan kita tidak akan mau dengan sengaja menyakiti hati sesama.



Tidak ada orang (normal) yang girang merasa senang dioperasi. Mereka selalu bertanya apakah masih ada kemungkinan lain. Operasi selalu ditempuh sebagai jalan terakhir yang tidak bisa dihindari. Mengapa orang tidak mempersoalkan sayatan pisau operasi dokter yang ‘menyakiti’ dan dengan bayaran mahal, bahkan hingga meminjam uang untuk operasi? Rasa enak dan uang simpana harus dikorbankan untuk sementara demi kesembuhan.

Bagaimana dengan operasi ‘penyakit karakter, seperti kesombongan, kerakusan, pementingan diri, kejahatan? Jika masih dalam ‘stadium 1’ penyakit-penyakit ini masih bisa diatasi dengan ‘obat-obatan’ seperti nasihat lembut dan cerita-cerita anekdot. Tetapi, jika penyakit itu sudah berada pada tahap ‘stadium 4’, ia membutuhkan operasi dan kemoterapi: untuk mengangkat sel-sel tumor dan membasmi akar-akarnya. Operasi dan kemoterapinya memang bisa antara si pasien dan Sang Dokter Agung, Tuhan sendiri. Tetapi, rasa sakit pasti ada di situ. Apalagi, kalau operasi dilakukan oleh orang lain –yang bisa saja dilakukan tanpa obat bius—pasti jauh lebih sakit.

Dalam hal ini sedikitnya ada tiga kemungkinan yang bisa saja kita alami.

Yang membutuhkan operasi

Jiak kita benar-benar sebagai pasien penderita aneka penyakit karakter yang harus dioperasi, kita harus menerimanya dengan iklas. Tidak perlu menolak apalagi memberontak. Mengapa kalau operasi ke dokter seorang pasien rela menanggung rasa sakit dan membayar pula, sementara menerima ‘operasi’ penyakit karakter yang gratis tidak diterima dengan dengan lapang dada? Masalah yang mungkin mengganjal kerelaan kita adalah: bertakhtanya keakuan. Hal ini secara serta merta membawa perasaan harga diri ambruk. Berhadapan dengan kekurangan diri sendiri itu terkadang menyakitkan. Celakanya, ada orang yang baru saja mengalami ‘operasi’ dengan teganya mencari ‘obat penenang’ dengan menyakiti si tukang operasinya sendiri melukai bukan mengoperasinya. Ia menebar fitnah dan menabur kebencian.

Sebagai tukang operasi

Jika kita merasa terpanggil menyembuhkan penyakit sesama, kita hendaknya datang sebagai ‘dokter’ bukan buldoser. Kita harus memastikan bahwa kita menanganinya dengan baik. Jika ternyata kita salah melakukan operasi, dengan rendah hati kita mesti mengakuinya. Kita harus senantiasa terhubung dengan Tuhan dalam melakukan tugas panggilan kita. Hal ini perlu, tidak untuk mempersoalkan dan terikat ke masa lalu sambil mengutuki bahkan menghukum diri sendiri tetapi untuk menjadi pelajaran dan tekad perbaikan di masa datang.

Korban malpraktek

Bayangkan kalau ada orang yang menyatakan diri sudah mendiagnosa penyakit Anda dan ia cepat-cepat melakukan ‘operasi’. Padahal, ia salah mendiagnosa. Ia menuduhkan yang tidak benar tentang Anda dan mengumumkannya kepada orang lain atas dasar kebencian. Luka bisa saja terjadi dalam sanubari Anda dan sahabat-sahabat Anda. Dalam keadaan seperti ini perlu kita renungkan apa yang dikatakan oleh Augustinus, "Jika Anda menderita karena perlakuan tidak adil seseorang yang jahat, ampunilah dia, kalau tidak, akan ada dua orang yang jahat".

Barangkali, hal ini masuk dalam salah satu yang paling sulit dalam kehidupan. Lebih sulit lagi, ketika orang lain ikut-ikutan menekan dan mempersalahkan kita. Semua bisa semakin memperparah luka hati. Lihatlah bagaimana reaksi orang menghadapi kenyataan seperti ini, mulai dari yang mendiamkannya tetapi tetap membiarkannya membara di dada, memakai jasa orang lain untuk membalas, hingga menghadapi dengan gagah berari hingga titik darah penghabisan. Motifnya dilabeli dengan “Mereka harus diberi pelajaran”. Semua ini tidak menyembuhkan. Malahan, justru membuat orang semakin banyak terluka.

Tidak berarti bahwa kita tidak boleh ‘membela diri’ dengan memberi klarifikasi. Itu malah sebuah kebutuhan. Yang penting jangan terlarut mempersoalkannya hingga menimbulkan persoalan baru.

Di dunia ini sudah terlalu banyak terluka, kita tidak perlu menambahkannya. Dalam situasi ketika kita korban malpraktek, Mzm 31:10 kiranya menjadi mazmur kita juga:


Kasihanilah aku, ya Tuhan,
Sebab aku merasa sesak; karena sakit hati mengidaplah mataku,
meranalah jiwa dan tubuhku

Sunday 17 January 2010

ANTI-VIRUS HUBUNGAN TERINFEKSI

REFLKESI SENIN KE-3
18 Januari 2010

Seorang teman mengisahkan pergumulannya seperti berikut ini.

“Seorang teman meminjam uangku lebih dari setahun. Pada saat mau meminjam ia datang setengah ‘menyembah’ dan dengan alasan yang benar-benar masuk akal untuk meminjam. Ia juga dengan kata-kata yang sangat meyakinkan berjanji janji untuk mengembalikannya paling lama tiga bulan. Bulan dan tahun pun telah berlalu, tetapi pinjaman tak kunjung kembali. Kini aku tidak hanya terbeban karena uang saja tetapi juga terbeban dengan ‘body language’ dan sikapnya yang tidak bersahabat. Padahal, hampir setiap hari saya harus bertemu dengan dia karena berada dalam satu kantor. Aku kehilangan uangku dan kehilangan pertemananku dan sekaligus kehilangan ketenangan batinku”.

Dalam kisah di atas kita melihat bahwa ‘hubungan’ pertemanan sedang menuju pada ke suatu bahaya. Proses peminjaman yang didasarkaan pada trust (rasa percaya) mulai memudar ketika penangguhan bahkan tanda-tanda pembatalan janji sedang terjadi. Akal sehat kita berkata bahwa si peminjam mengalami ‘pengorbanan ganda’, uangnya dan ketengan jiwanya. Hubungan terganggu seiring dengan pudarnya rasa percaya.

Di samping itu, hubungan juga bisa terancam oleh perbedaan pendapat. Padahal, dalam perjalanan hidup ini, kita pasti pernah berbeda pendapat dengan orang lain. Masalahnya, ada orang yang menyamakan saja perbedaan pendapat dengan pertengkaran. Padahal, tidak harus demikian. Perbedaan merupakan yang wajar-wajar saja dalam kehidupan ini. Terganggunya hubungan baik hanya karena perbedaan pendapat merupakan sesuatu yang tidak sehat. Lebih celaka lagi, perbedaan yang berujung pada perselisihan itu merembes dan merambat ke mana-mana. Bayangkan Anda berbeda pendapat dengan seseorang, dan seseorang itu menanggapinya secara negatif hingga memicu permusuhan hingga teman dekatnya pun memusuhi Anda. Padahal Anda tidak ada masalah sama sekali dengan yang bersangkutan.

Ada begitu banyak virus yang menggerogoti hubungan sehat dengan sesama. Kita tidak mampu memproduksi anti-virus ampuh mengatasinya. Hal-hal berikut kiranya dapat menjadi acuan kita:

1. Kesediaan kita terhubung dengan Tuhan. Sebab, semakin kita terhubung dengan Tuhan, semakin terhubung pula kita dengan orang lain. Semakin kita terhubung dengan orang lain semakin sehat pula emosi dan fisik kita.
2. Sebuah keharusan untuk ‘memahami diri kita sendiri’ dan ‘memahami orang lain’. Lihatlah bagaimana Anda berhubungan dengan orang lain. Misalnya, kita perlu mengenali apakah kita lebih ektrovert atau introvert. Sebuah masalah hubungan biasanya dimulai dari yang ektrovert dan menjadi langgeng karena ‘reaksi’ mereka yang introvert. Yang ektrovert “memulai”, yang introvert “menyambut dan melanjutkannya”. Yang lebih menderita biasanya adalah yang introvert. Sebab, yang ektrovert memiliki dua kekurangan. Di satu segi kurang peduli apakah kata-kata dan tindakannya melukai atau menyakiti orang lain dan di segi lain kurang peduli terhadap dirinya sendiri. Mereka bisa tidur nyenyak meskipun ia tahu sendiri dia bersalah. Yang introvert menderita dua ‘luka’: (1) Merasa terluka karena sikap, kata-kata dan tindakan orang lain dan (2) Merasa terbeban dengan reaksinya sendiri. Dalam hal ini, bertumbuhlah dari kesalahan-kesalahan, apakah Anda seorang ekstrovert (yang biasanya memulai masalah) atau apakah Anda seorang introvert (yang biasanya lebih merasa tersiksa dan bereaksi kurang sehat). Ketika Anda secara perlahan membuka hati, pertumbuhan dimulai seperti suatu sumber mata air yang baru.
3. Kita perlu mengembangkan sikap menerima perbedaan tanpa berujung pada parbadaan (Bahasa Batak yang berarti “Pertengkaran”). Caranya, kita harus membedakan antara ‘pendapat’ dan ‘si pemberi pendapat’. Kalau pendapatnya tidak kita terima, bahkan kita tolak, kita tetap dapat menerima ‘orangnya’. Membenci ide-ide buruknya, tetapi menerima dan mengasihi orangnya. Hal ini memang sulit, tetapi dengan proses pembiasaan semuanya bisa terjadi.
4. Indikator yang paling baik menunjukkan kepribadian dan kemampuan kita membangun hubungan yang sehat secara kristiani adalah buah-buah Roh (KSD 5KP): kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri (Gal. 5:22-23).

Hubungan yang sehat tercipta
seiring dengan berkembangnya kedamaian hati

Wednesday 25 March 2009

SELAMAT DATANG DI BATAM

Secara geografis, Batam sangat dekat dengan Singapur, tetapi secara kualitas lingkungan masih sangat jauh perbedaannya.
Mari kita tingkatkan bersama kelestarian alam Batam.